Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Rabu, 12 Desember 2012

Tulisan 12 ( Hutan, Reboisasi/ Penghijauan, dan Air )


Nama : Wiwik Dyah Kurniawati
Kelas : 3 EB 20
NPM : 28210569
Bahasa Indonesia 2 #
Tulisan 12

Hutan, Reboisasi/ Penghijauan, dan Air


Pengertian dan definisi reboisasi dan penghijauan ditinjau dari aspek rehabilitasi atau pemulihan lahan kritis, sebenarnya istilah dan arti kata ini hampir sama. Perbedaan arti kedua istilah tersebut pada "sasaran lokasi" dan "kesesuaian jenis tanaman" yang ditanam pada masing-masing lokasi kegiatan. Reboisasi merupakan kegiatan penghutanan kembali kawasan hutan bekas tebangan maupun lahan-lahan kosong yang terdapat di dalam kawasan hutan (Manan 1978). Reboisasi meliputi kegiatan permudaan pohon, penanaman jenis pohon lainnya di area hutan negara dan area lain sesuai rencana tata guna lahan yang diperuntukkan sebagai hutan. Dengan demikian, membangun hutan baru pada area bekas tebang habis, bekas tebang pilih, atau pada lahan kosong lain yang terdapat di dalam kawasan hutan termasuk reboisasi (Kadri dkk, 1992). Penghijauan merupakan kegiatan penanaman pada lahan kosong di luar kawasan hutan, terutama pada tanah milik rakyat dengan tanaman keras, misalnya jenis-jenis pohon hutan, pohon buah, tanaman perkebunan, tanaman penguat teras, tanaman pupuk hijau, dan rumput pekan ternak. Tujuan penanaman agar lahan tersebut dapat dipulihkan, dipertahankan, dan ditingkatkan kembali kesuburannya. (Manan 1976; Supriyanto,1984). Menurut (Kadri dkk, 1992) upaya yang termasuk dalam rangkaian kegiatan penghijauan, yang sudah disebutkan berupa pembuatan bangunan pencegah erosi tanah, misalnya pembuatan sengkedan (teras) dan bendungan (check dam) yang dilakukan pada area di luar kawasan hutan.


BEBERAPA WAKTU lalu kita mengalami musibah kekeringan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah untuk kesekian kalinya menggariskan lagi kebijakan melakukan reboisasi. Agar reboisasi dapat berdaya guna sebesar-besarnya, perlu diperhatikan beberapa mitos tentang hubungan hutan dan air, sebagai berikut :

1.    Mitos 1. Hutan menambah air. Jika hujan jatuh di hutan, sebagian air hujan diintersepsi (tertahan) oleh tajuk hutan. Hanya sebagian hujan saja yang jatuh ke tanah. Ini kita alami pada waktu kita berteduh di bawah pohon. Jika hujan tidak keras, keringlah kita. Hujan yang tertahan oleh tajuk pohon menguap kembali ke udara. Makin besar dan lebat tajuk pohon, makin banyak air hujan yang tertahan dan hilang sebagai uap air. Seperti makhluk hidup lain, pohon juga berkeringat, yang disebut evapotranspirasi. Air evapotranspirasi berasal dari tanah yang diserap oleh pohon. Pohon dengan tajuk besar yang hijau sepanjang tahun mempunyai laju evapotranspirasi per tahun yang tinggi, misalnya pinus. Sebaliknya, pohon yang menggugurkan daunnya dalam musim kemarau, laju evapotranspirasi per tahunnya rendah, misalnya jati. Dengan adanya intersepsi dan evapotranspirasi, sebagian air hilang menguap. Jadi, hutan tidak menambah air, tetapi mengurangi air. Jumlah air per tahun berkurang. Terdapat literatur ilmiah yang luas tentang hal ini. Namun, dengan adanya hutan, permukaan tanah tertutup serasah dan humus. Tanah menjadi gembur. Air dengan mudah meresap ke dalam tanah dan mengisi persediaan air tanah. Air yang mengalir di permukaan tanah (air larian) berkurang. Oleh karena itu, walaupun jumlah air per tahun berkurang, persediaan air untuk musim kemarau bertambah. Bahaya banjir pun berkurang.

2.    Mitos 2. Penebangan hutan mengurangi air. Dengan penebangan hutan, intersepsi air hujan berkurang. Laju evapotranspirasi pun berkurang. Dengan demikian, penebangan hutan tidak mengurangi jumlah air, melainkan menambah air. Ini pun telah ditunjukkan dalam banyak laporan ilmiah. Akan tetapi, dengan penebangan hutan, serasah dan humus hilang. Kegemburan tanah berkurang. Jika hujan turun, laju penyerapan air ke dalam tanah berkurang. Pengisian persediaan air tanah berkurang. Air yang mengalir di atas permukaan tanah naik. Akibatnya, persediaan air dalam musim kemarau berkurang. Sebaliknya, dalam musim hujan kita kelebihan air yang sebagian berupa banjir. Jadi, dengan penebangan hutan, walaupun jumlah air bertambah, sebagian air berupa banjir dalam musim hujan, sedangkan dalam musim kemarau kita kekurangan air. Laju erosi pun meningkat.

3.    Mitos 3. Reboisasi/penghijauan menambah air. Reboisasi adalah penanaman pohon dalam kawasan hutan yang rusak dan penghijauan penanaman pohon di luar kawasan hutan. Reboisasi/penghijauan memperluas tajuk pohon sehingga intersepsi hujan dan evapotranspirasi bertambah sehingga reboisasi/penghijauan mengurangi jumlah air per tahun. Banyak literatur ilmiah yang melaporkan hal ini. Namun, reboisasi/penghijauan menambah laju peresapan air ke dalam tanah dan mengurangi volume air yang mengalir di atas permukaan tanah. Dengan demikian, walaupun jumlah air per tahunnya berkurang, bahaya banjir dalam musim hujan berkurang dan bahaya kekurangan air dalam musim kemarau berkurang pula. Laju erosi juga turun. Untuk mencapai tujuan ini, khusus untuk penghijauan harus dicatat agar diusahakan adanya tumbuhan bawah serta terjadinya serasah dan humus di bawah pohon untuk meningkatkan peresapan air ke dalam tanah dan mengurangi volume air yang mengalir di atas permukaan tanah. Jika tidak, penghijauan justru meningkatkan laju erosi.

4.    Mitos 4. Efek reboisasi/penghijauan lama. Dalam kondisi iklim dan tanah di Indonesia di hutan yang rusak gulma dan tumbuhan kecil dengan cepat dapat tumbuh kembali. Serasah pun dengan cepat terbentuk. Secara eksperimental telah ditunjukkan, fungsi hidro-orologi hutan terutama dilakukan oleh tumbuhan bawah (undergrowth) dan serasah. Karena itu, fungsi hidro-orologi juga dapat pulih dengan cepat dalam bilangan setahun-dua tahun saja. Hal ini juga telah dibuktikan secara eksperimental. Bahkan, tanpa reboisasi/penghijauan pun pemulihan fungsi hidro-orologi dapat terjadi dengan cepat, asalkan hutan tidak diganggu lagi. Dengan perkataan lain, fungsi hidro-orologi dapat juga pulih dengan cepat melalui reboisasi/penghijauan alamiah.
Pengelolaan reboisasi/penghijauan
Di dunia fana tak ada hal yang 100 persen positif. Selalu ada segi negatifnya. Demikian pula hutan mempunyai efek positif maupun negatif. Karena itu, reboisasi/penghijauan harus dikelola dengan baik untuk memperbesar efek positif dan memperkecil efek negatif. Dengan mengingat uraian di atas, kita usahakan agar peresapan air hujan ke dalam tanah dapat diperbesar secepatnya sehingga pengisian kembali persediaan air tanah dengan cepat pulih. Dengan demikian, bahaya banjir juga berkurang. Karena hutan mengurangi air, reboisasi/ penghijauan dilakukan dengan jenis pohon yang laju evapotranspirasinya rendah. Sudah barang tentu dengan memperhatikan iklim dan tanah. Misalnya, jati di daerah dengan musim kemarau panjang, bukan pinus. Pengalaman menunjukkan, di daerah yang dengan sukses dilakukan reboisasi dengan pinus, penduduk mengeluh bahwa airnya menyusut. Dapat juga dilakukan reboisasi/penghijauan dengan jenis pohon yang evapotranspirasinya tinggi, misalnya lamtoro. Dalam musim kemarau, lamtoro itu dipangkas untuk pakan ternak dan menghasilkan kayu bakar. Dengan pemangkasan itu, laju evapotranspirasi dikurangi sampai minimum.
Reboisasi/penghijauan secara alamiah sangat sesuai untuk rehabilitasi hutan lindung dan taman nasional. Vegetasi yang tumbuh terdiri atas bermacam-macam jenis sesuai dengan kondisi tanah dan iklim daerah itu. Keanekaan hayatinya tinggi. Dana untuk reboisasi lalu digunakan untuk pembangunan pedesaan guna menanggulangi kemiskinan. Dengan demikian, kebutuhan masyarakat untuk merambah hutan ditiadakan atau paling sedikit dikurangi. Hutan terlindung dan dapat pulih secara alamiah. Demikian pula fungsi hidro-orologinya.


Sumber          : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=2976&coid=1&caid=56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar